Burung garuda merupakan lambang dari negara kesatuan
republik indonesia, lambang yang merangkum lima sila (pancasila), dan juga di
jadikan sebagai pandangan hidup bagi negara republik indonesia, di rancang oleh
Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra
sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak
tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah
diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda
yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di
Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS
Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan
meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10
Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan
mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi
Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan
ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan
Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan
Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam
perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia
dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in
Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat
tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama
yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949,
beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio,
Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando”
kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.
Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950,
sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan
TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat
yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu
Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak
buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat
dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama
jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang
dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan
Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses
perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat
Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang
negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden
Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh
Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar
Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan
lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam
Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila
masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya
kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian
dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama
kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada
15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan.
Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul”
dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke
belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden
Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah
diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan
pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk
final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara
resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan
penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala
ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya
diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan
terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan
pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun
1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto
gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari
1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat
pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan
Pontianak di Batulayang.
GARUDA
Garuda Pancasila
terdiri atas tiga komponen utama, yaitu Burung Garuda, Perisai dan Pita Putih.
Menurut Mitologi
Hindu, Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari India. Burung
tersebut berkembang sejak abad ke-6 di Indonesia. Burung Garuda itu sendiri
melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada Burung Garuda itu melambangkan
kemegahan atau kejayaan.
Jumlah bulu pada sayap
Garuda sebanyak 17, bulu diekor berjumlah 8, bulu di pangkal ekor berjumlah 19
dan bulu di leher berjumlah 45. Bulu-bulu tersebut jika digabungkan menjadi 17-8-1945, yaitu menggambarkan waktu
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Di perisai yang
terdapat pada Burung Garuda, mengandung lima buah simbol yang masing-masing
melambangkan sila-sila dari dasar negara Pancasila. Perisai yang dikalungkan
tersebut melambangkan pertahanan Indonesia. Pada bagian tengah dari perisai
tersebut terdapat simbol bintang yang memiliki lima sudut. Bintang tersebut
melambangkan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Lambang
bintang tersebut dianggap sebagai sebuah cahaya, seperti cahaya kerohanian yang
dipancarkan oleh Tuhan kepada setiap manusia.
Dibagian bintang,
terdapat latar berwarna hitam. Latar tersebut melambangkan warna alam yang asli
yang memiliki Tuhan, bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari
segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.
Pada bagian kanan
bawah, terdapat rantai yang melambangkan sila kedua Pancasila, yaitu
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai
yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkaitan membentuk
lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang
lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun
melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu
sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
Pada bagian kanan
atas, terdapat gambaran pohon beringin yang melambangkan sila ketiga, yaitu
Persatuan Indonesia. Kenapa pohon beringin yang digunakan? Karena pohon
beringin merupakan pohon besar yang bisa digunakan oleh banyak orang sebagai
tempat berteduh dibawahnya. Hal tersebut dikorelasikan sebagai Negara
Indonesia, dimana semua rakyat Indonesia dapat “berteduh” di bawah naungan
Negara Indonesia. Tak hanya itu saja, pohon beringin memiliki sulur dan akar
yang menjalar ke segala arah. Hal ini dikorelasikan dengan keragaman suku
bangsa yang menyatu di bawah nama Indonesia.
Pada bagian kiri atas,
terdapat kepala banteng. Kepala banteng tersebut melambangkan sila keempat
Pancasila, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan. Disini, kepala banteng memiliki filosofi sebagai
hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah, dimana orang-orang
berdiskusi untuk melahirkan suatu keputusan.
Di bagian kiri bawah,
terdapat lambang padi dan kapas. Lambang tersebut melambangkan sila ke lima
Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Lambang
tersebut dianggap dapat mewakili sila kelima, karena padi dan kapas merupakan
kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang, sebagai syarat utama
untuk mencapai kemakmuran. Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sila kelima
ini.
Di lambang perisai
sendiri, terdapat garis hitam tebal yang melintang di tengah-tengah perisai.
Garis hitam tebal tersebut melambangkan garis khatulistiwa yang melintang
melewati wilayah Indonesia. Sedangkan warna merah dan putih yang menjadi latar
pada perisai tersebut merupakan warna bendera negara Indonesia. Merah, memiliki
makna keberanian dan putih melambangkan kesucian.
Pada bagian bawah
Garuda Pancasila, terlihat pita putih yang dicengkram, pita tersebut
bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Tulisan tersebut ditulis dengan menggunakan
huruf latin dan merupakan semboyan negara Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika,
dalam bahasa Jawa Kuno memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”
Kata Bhinneka Tunggal
Ika sendiri dikutip dari buku Sutasoma yang dikarang oleh seorang pujangga di
abad ke-14 dari Kerajaan Majapahit, Mpu Tantular. Kata tersebut memiliki arti
sebagai persatuan dan kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri atas
berbagai pulau, ras, suku, bangsa, adat, kebudayaan, bahasa, serta agama.
Garuda sebagai lambang negara indonesia ternyata memiliki dasar filosofis tersendiri
yang oleh beberapa kalangan disebut berasal dari mitologi kuno. Pemilihan simbol “burung Garuda”
sendiri sebagai lambang negara adalah sebuah kontroversi karena hanya
ditentukan oleh segelintir orang saja tanpa memperhatikan aspirasi mayoritas
rakyat Indonesia. “Burung Garuda” memang ada dalam mitologi Hindu yang pernah
menjadi agama mayoritas Indonesia di masa lalu, Garuda dalam mitos digambarkan sebagai
makhluk separuh burung (sayap, paruh, cakar) dan separuh manusia (tangan dan
kaki). Namun pada masa kemerdekaan, Hindu
tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan.” “Agama Islam sendiri sebagai
agama mayoritas rakyat Indonesia setelah era Hindu juga tidak mengenal simbol
“burung Garuda”. “Burung Garuda” juga tidak pernah benar-benar ada karena hanya
sebuah mitos. Karena bukan simbol asli bangsa Indonesia maka tidak ada lain simbol
“burung Garuda” mengadopsi simbol-simbol kebudayaan asing yang memang
memuja-muja simbol “burung mirip Garuda”, yang gerakan Fremasonry-nya sangat
berpengaruh sampai saat ini.”
Orang-orang yang merancang simbol “burung Garuda” sebagai simbol negara adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantoro dan Muhammad Yamin. Ketiganya adalah pengikut gerakan Vrijmeselarij dan Theosofi. Sedangkan Presiden Soekarno yang menetapkan simbol “burung Garuda” sebagai lambang negara juga berada dalam pengaruh Fremasonry melalui ayahnya yang merupakan anggota Perhimpunan Theosofi Surabaya.
Untuk menguak korelasi simbologi antara Simbol-Simbol Negara RI dengan Yahudi dan Zionisme silakan banyak membaca buku-buku karangan Herry Nurdi (Jejak Freemason & Zionis Di Indonesia, Penerbit Cakrawala); Ridwan Saidi (Fakta dan Data Yahudi di Indonesia), dan Muh Thalib & Irfan S Awwas (Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila, Penerbit Wihdah Press).
ISIS
Isis atau Aset (bahasa Yunani Kuno: Ἶσις)
adalah dewi pada kepercayaan Mesir Kuno.
Ia dipuja sebagai ibu dan istri yang ideal, dan juga sebagai ibu dari alam dan
sihir. Isis merupakan sahabat bagi budak, pendosa, tukang, dan orang yang
tertekan. Ia juga mendengarkan doa-doa orang kaya, aristokrat, dan penguasa.[1] Isis merupakan dewi keibuan, sihir,
dan kesuburan. Dewi Isis
(ibu dari Horus) adalah putri
pertama Geb, dewa Bumi, dan Nut,
dewi langit.