Sabtu, 30 Juni 2012

HAM dan Prinsip Kedaulatan


HAM dan Prinsip Kedaulatan


Kewajiban menghormati hak-hak asasi manusia merupakan kewajiban yang mengiringi wewenang yang diberikan kepada negara dari rakyat sebagai pemberi legitimasi.
Konflik internal yang terjadi di Haiti mengundang kembali perhatian dunia tentang human security. Kelompok-kelompok propemerintahan Aristide dan geng-geng kriminal setempat melakukan serangkaian aksi penjarahan toko, bahkan rumah sakit, sedangkan kaum pemberontak terus melancarkan aksi bersenjata untuk menduduki ibu kota. Kondisi ini mendorong terjadinya arus pengungsi besar-besaran, baik rakyat Haiti maupun para diplomat asing keluar dari Haiti dalam rangka menyelamatkan diri. Krisis kemanusiaan ini telah memicu munculnya reaksi keras dari negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, Prancis, dan negara-negara Karibia. Pemerintah AS mendorong Presiden Aristide untuk turun dari jabatannya karena efektivitas pemerintahannya telah diragukan. AS dan Prancis akhirnya menurunkan sejumlah pasukan untuk menghentikan kekerasan bersenjata serta kerusuhan yang terjadi, di samping adanya tuntutan dari negara-negara Karibia terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengirimkan pasukan mutinasional. Terlepas dari kasus tersebut, mari kita lihat kondisi di dalam negeri. Pada 25 Februari 2004, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan Laporan Tahunan tentang Praktek-praktek Hak Asasi Manusia yang memuat berbagai tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh hampir setiap negara di dunia. Dalam kasus Indonesia, laporan ini menyatakan secara umum belum ada perbaikan yang signifikan dalam penerapan HAM. Laporan ini menyoroti kekerasan yang terutama terjadi di daerah-daerah konflik, seperti Aceh, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua. Di Aceh, sejak dimulainya operasi militer, banyak sekali tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh oknum TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka. Pelanggaran terhadap hukum humaniter yang dilakukan oleh kedua belah pihak menambah jumlah korban serta efek ketakutan besar terhadap kaum sipil. Oknum militer antara lain melakukan penculikan dan pembunuhan, pelecehan seksual, pemerasan, serta pembatasan ketat terhadap kegiatan organisasi nonpemerintah, dan peliputan pers. Di sisi lain, GAM melakukan aksi teror dengan pembakaran sekolah, penghancuran fasilitas-fasilitas umum, penyerangan bus, pemerasan, dan sebagainya. Dalam kondisi perang gerilya, pasukan TNI seringkali sulit membedakan antara sasaran sipil dan anggota GAM bersenjata yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah korban, antara lain dari pihak pers seperti tewasnya wartawan RCTI Ersa Siregar dalam suatu kontak senjata. Situasi di wilayah konflik lainnya seperti di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah yang carut-marut akibat konflik horizontal berangsur membaik, meski masih rawan terhadap pecahnya konflik terbuka. Para pengungsi dari konflik-konflik itu masih tersebar di berbagai wilayah dan berada dalam kondisi sangat memprihatinkan. Kondisi di Papua juga masih sangat rawan, terutama setelah insiden Timika yang menyebabkan tewasnya warga negara AS dan pemecahan Papua menjadi tiga provinsi yang tidak mendapat dukungan dari masyarakat Papua. Selain di wilayah konflik, kondisi HAM di Indonesia masih buruk berkaitan dengan semakin parahnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hukum tunduk pada kekuasaan politik dan uang. Oknum-oknum militer yang diadili hanyalah mereka yang melakukan kejahatan "kecil" dan bukan aktor utama atau inisiator kekerasan. Pola ini terlihat dalam berbagai kasus pengadilan, antara lain kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada 1999. Kebebasan pers dan mengemukakan pendapat masih sangat dibatasi. Kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak-anak terjadi di mana-mana. Kekerasan dalam institusi pendidikan juga terjadi seperti dalam kasus tewasnya salah satu siswa STPDN. Ancaman terorisme masih menebarkan ketakutan yang besar di masyarakat karena belum semua pelaku diungkap dan ditangkap. Laporan tentang pelanggaran HAM ini harus menjadi perhatian karena tentunya akan digunakan sebagai referensi bagi pemerintah AS dan negara-negara lain untuk merumuskan kebijakan mereka terhadap Indonesia. Hingga saat ini AS masih enggan menarik embargo militernya, terutama penjualan senjata, lantaran masih buruknya penegakan HAM di Indonesia dan kurang seriusnya pemerintah Indonesia menangani masalah ini. Harus diakui, embargo ini jelas merugikan kapabilitas militer Indonesia. Tindakan ini juga dilakukan antara lain oleh parlemen Belanda yang menolak untuk menjual kapal jenis Corvet ke Indonesia karena adanya kekhawatiran bahwa kapal tersebut akan digunakan untuk operasi militer yang ada kemungkinan berpotensi melanggar HAM (Kompas, 20 Februari 2004). Mengapa kita tak dapat menggunakan peralatan militer yang dimiliki sesuai dengan keinginan kita? Justifikasi apa yang dimiliki AS dan negara-negara lain itu untuk melarang? Kita bisa saja mengatakan, negara-negara itu telah melanggar kedaulatan RI karena larangan tersebut. Tapi di sisi lain kita tidak dapat dengan mudah melakukannya. Disadari atau tidak, ada seperangkat aturan yang berlaku dalam sistem internasional yang menentukan sejauh mana prinsip kedaulatan itu memperoleh legitimasi. Secara umum, prinsip kedaulatan memiliki dua aspek: internal dan eksternal. Kedaulatan internal merupakan prinsip yang melegitimasi pengorganisasian politik dan kontrol internal yang menyangkut rakyat, wilayah, dan otoritas pemerintahan yang diakui. Kedaulatan internal merupakan wewenang atau hak untuk menerapkan kontrol. Kontrol ini diterapkan dengan adanya kesadaran dan legitimasi dari masyarakat. Kedaulatan eksternal adalah pengakuan yang diberikan oleh entitas lainnya (terutama negara) atas kewenangan suatu negara untuk mengatur urusan domestiknya. Hal ini menyangkut status suatu negara di dalam sistem internasional dan berkaitan dengan prinsip nonintervensi (Makinda, 1998). Prinsip kedaulatan itu dapat dijalankan selama norma yang menjadi basis legitimasinya diterapkan oleh negara tersebut. Jika negara melanggar norma itu, akan muncul reaksi dari negara-negara lain untuk menarik pengakuan terhadap kedaulatan internal tersebut. Basis legitimasi bagi kedaulatan ini berubah dari waktu ke waktu. Hampir setiap norma muncul setelah terjadinya perang besar. Sejak berakhirnya Perang Dunia I hingga masa Perang Dingin, norma nasionalis yang didasarkan atas integritas wilayah menjadi basis legitimasi bagi prinsip kedaulatan. Basis legitimasi itu merupakan penguatan dari basis legitimasi ketika prinsip kedaulatan itu muncul pada 1648. Inti dari prinsip kedaulatan itu adalah kedaulatan yang berpusat pada negara (state-centred sovereignty). Setelah Perang Dingin berakhir, AS sebagai superpower satu-satunya berusaha untuk memunculkan norma baru, yaitu demokratisasi dan HAM. Fokus kedaulatan beralih menjadi people centred sovereignty yang lebih menekankan pada sisi individu. Adanya ancaman terhadap basis legitimasi ini akan memberikan justifikasi bagi negara dan organisasi internasional--yang mendapat mandat dari komunitas internasional--untuk melakukan tindakan karena pemerintahan yang bersangkutan dianggap tak lagi memiliki kapasitas untuk menjamin pelaksanaan basis legitimasi bagi kedaulatannya. Walhasil, jika kita ingin kedaulatan bangsa ini dihormati oleh negara-negara lain, mau tidak mau, kita harus berusaha melakukan kewajiban untuk menerapkan HAM secara serius. Walau perlu diingat bahwa norma yang terbentuk itu merupakan hasil konstruksi ide dan kepentingan subyektif yang dimiliki oleh negara superpower, ada sisi positif yang harus lebih menjadi perhatian kita. Kewajiban menghormati hak-hak asasi manusia merupakan kewajiban yang mengiringi wewenang yang diberikan kepada negara dari rakyat sebagai pemberi legitimasi. Dengan demikian, kedaulatan bukan semata-mata hak, tapi juga kewajiban untuk melindungi dan menjamin kualitas hidup individu. Jika negara, khususnya pemerintah, tidak mampu melakukan hal ini, bukan mustahil ancaman kedaulatan justru muncul dari tidak adanya komitmen tersebut, bukan dari tindakan yang dilakukan oleh negara lain.

Jumat, 22 Juni 2012

DINAMIKA KONFLIK DALAM ORGANISASI


DINAMIKA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Konflik atau pertentangan dalam organisasi, merupakan suatu kelanjutan dari adanya komunikasi dan informasi yang tidak menemui sasarannya. Suatu pemahaman akan konsep dan dinamika konflik lebih menjadi bagian vital dalam studi perilaku organisasional, oleh karena itu perlu untuk dipahami dengan baik.
Pada hakekatnya konflik merupakan suatu pertarungan menang kalah antara kelompok atau perorangan yang berbeda kepentingannya satu sama lain dalam organisasi, atau dapat dikatakan juga bahwa konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak yang terkait.
Adapun mengenai jenis-jenis konflik, ada beberapa orang yang mengelompokkan konflik menjadi sebagai berikut:
  1. Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (person role conflict).
  2. Konflik antar peranan (inter-role conflict), yaitu persoalan timbul karena satu orang menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan.
  3. Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang (intersender conflict).
  4. Konflik yang timbul karena disampaikan informasi yang saling bertentangan (interasender conflict).
Selain pembagian jenis konflik di atas masih ada pembagian jenis konflik yang dibedakan menurut pihak-pihak yang saling bertentangan, yaitu:
  1. Konflik dalam diri individu.
  2. Konflik antar individu.
  3. Konflik antar individu dan kelompok.
  4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang samakonflik antar organisasi.
Konflik organisasional timbul karena ada beberapa sumbernya, dan berbagai sumber utama konflik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kebutuhan untuk membagi sumber daya-sumber daya yang terbatas.
  • Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tujuan.
  • Saling ketergantungan kegiatan-kegiatan kerja.
  • Perbedaan nilai-nilai atau persepsi.
  • Kemenduaan organisasional.
  • Gaya-gaya individual.1
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pada hakekatnya, pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.
Pengertian di atas menunjukkan lima hal dengan jelas, yaitu:
1. Dalam proses pengambilan keputusan tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.
2. Pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara sembrono, karena cara pendekatan kepada pengambilan keputusan harus didasarkan kepada sistematika tertentu, yaitu:
  • Kemampuan organisasi, dalam arti tersedianya sumber-sumber yang nantinya akan digunakan untuk melaksanakan keputusan yang diambil.
  • Tenaga kerja yang tersedia serta kualifikasinya.
  • Situasi lingkungan intern dan ekstern yang akan mempengaruhi jalannya roda dministrasi dan manajemen di dalam organisasi.
3. Bahwa sebelum sesuatu masalah dapat dipecahkan dengan baik, hakekat daripada masalah itu harus diketahui dengan jelas. Perlu diperhatikan bahwa pada hakekatnya pengambilan keputusan adalah pemecahan masalah dengan sebaik-baiknya.
4. Bahwa pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan mengarang, akan tetapi harus didasarkan kepada fakta-fakta yang terkumpul dengan sistematis, terolah dengan baik dan tersimpan secara teratur sehingga fakta-fakta atau data itu sungguh-sungguh dapat dipercayai dan bersifat up to date.
5. Bahwa keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif yang ada, setelah alternatif-alternatif itu dianalisa dengan matang.
Pengambilan keputusan yang tidak didasarkan kepada kelima hal diatas akan dihadapkan kepada berbagai masalah seperti:
  • Tidak tepatnya keputusan karena kesimpulan yang diperoleh dari fakta-fakta dan data yang tidak up to date dan tidak dapat dipercayai.
  • Tidak terlaksananya keputusan karena tidak sesuai dengan kemampuan organisasi untuk melaksanakannya, baik ditinjau dari segi manusia, uang maupun material.
  • Ketidakmauan orang-orang pelaksana untuk melaksanakannya karena tidak terlihat dalam keputusan yang diambil sesuatu hal yang menunjukkan adanya sinkronisasi antara kepentingan organisasi dan kepentingan pribadi orang-orang di dalam organisasi tersebut.
  • Timbulnya penolakan terhadap keputusan karena faktor lingkungan belum disiapkan untuk menerima akibat daripada keputusan yang diambil.
Kesemuanya ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan sebagai tugas terpenting dan terutama bagi seorang pemimpin yang baik, bukan merupakan tugas yang mudah dan bahwa apabila seseorang ingin diakui sebagai seorang pemimpin yang baik, orang tersebut sepanjang kariernya perlu secara teratur dan kontinyu mengembangkan kemampuan mengambil keputusan. Apabila kemampuan mengambil keputusan tidak dikembangkan secara teratur dan kontinyu, bukan tidak mungkin seseorang yang menduduki jabatan pimpinan akan dihadapkan kepada dilemma, frustasi dan kegagalan.2 Wallohu a’lam.
Baik-buruknya seseorang menjalankan peranannya sebagai pemimpin, dengan nama apapun pemimpin itu dikenal seperti: administrator, manager, kepala, ketua dan sebagainya, pada hakekatnya dinilai dari kriteria prosentasi keputusannya direalisasi dan sampai dimana keputusan-keputusan itu mempercepat proses pencapaian tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan perkataan lain, semakin tinggi kedudukan seseorang di dalam suatu organisasi, ia akan memerlukan semakin banyak managerial skill dan kurang kebutuhan akan technical skill3 (insya’ Alloh Ta’ala), oleh karena ia sudah semakin berkurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional.4
Dalam abad modern seperti sekarang ini tugas mengambil keputusan tidak mudah oleh karena:
  1. Organisasi dewasa ini ditandai oleh kompleksitas kegiatan aneka ragam produk yang dihasilkan, intrikasi daripada hubungan kerja serta meningkatnya tuntutan daripada para langganan organisasi yang mesti dilayani.
  2. Pada umumnya organisasi-organisasi besar dan kompleks dihadapkan kepada ledakan informasi yang menuntut penanganan informasi itu oleh para ahli informasi dengan keterampilan yang tinggi. Artinya, pimpinan dalam mengambil keputusan dihadapkan kepada volume informasi yang besar sehingga mereka memerlukan para pembantu yang ahli memilih informasi apa yang diperlukan oleh siapa untuk mengambil keputusan apa. Untuk tugas pelayanan yang demikian inilah suatu sistem informasi bagi pimpinan perlu diciptakan, dikembangkan dan dipelihara.
  3. Keputusan yang diambil selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologis yang mempunyai implikasi sosiologis, ekonomis, budaya, politis, finansial dan bahkan sering juga ideologis. Oleh karenanya, proses pengambilan keputusan seyogianya didasarkan kepada sistem yang multi fungsional dan interdisciplinary karena system yang demikianlah yang memperhitungkan faktor-faktor ekologis tersebut dengan cukup.
  4. Semakin langkanya sumber-sumber yang tersedia untuk digunakan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
  5. Pendekatan dalam management science yang semakin bersifat matematis dan menggunakan data-data yang dapat dikuantifikasi.
Kelompok pimpinan dewasa ini sesungguhnya lebih beruntung dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di masa lalu karena sebagai akibat daripada kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kini telah tersedia berbagai alat yang dapat digunakan oleh pimpinan untuk mempermudah dan mempercepat pelaksanaan tugasnya selaku pengambil keputusan.

TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN ETIKA MANAJEMEN
Tanggung jawab sosial adalah etika ideologi atau teori bahwa sebuah entitas , baik itu sebuah organisasi atau individu , memiliki kewajiban untuk bertindak untuk menguntungkan masyarakat luas. Tanggung jawab sosial merupakan kewajiban setiap individu atau organisasi harus melakukan sehingga dapat menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekosistem. Sebuah trade-off selalu ada antara pembangunan ekonomi, dalam arti material, dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab sosial berarti mempertahankan keseimbangan antara keduanya. Berkaitan tidak hanya untuk organisasi bisnis tetapi juga untuk semua orang yang tindakan apapun dampak lingkungan. [1] Tanggung jawab ini dapat menjadi pasif, dengan menghindari terlibat dalam tindakan sosial yang berbahaya, atau aktif, dengan melakukan kegiatan yang secara langsung memajukan tujuan sosial.
Bisnis dapat menggunakan pengambilan keputusan etis untuk mengamankan bisnis mereka dengan membuat keputusan yang memungkinkan untuk instansi pemerintah untuk meminimalkan keterlibatan mereka dengan perusahaan. (Kaliski, 2001) Sebagai contoh jika sebuah perusahaan dan mengikuti Amerika Serikat Environmental Protection Agency (EPA) pedoman untuk emisi pada polutan berbahaya dan bahkan pergi langkah tambahan untuk terlibat dalam masyarakat dan mengatasi kekhawatiran bahwa masyarakat mungkin memiliki , mereka akan lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki EPA menyelidiki mereka untuk masalah lingkungan. [2] "Unsur penting dari pemikiran terkini tentang privasi, bagaimanapun, menekankan" pengaturan diri "daripada mekanisme pasar atau pemerintah untuk melindungi informasi pribadi" (Swire , 1997) Menurut beberapa ahli, aturan dan peraturan yang paling terbentuk akibat kemarahan publik, yang mengancam maksimalisasi keuntungan dan oleh karena itu kesejahteraan pemegang saham, dan bahwa jika tidak ada protes akan sering regulasi terbatas. [3]
Para kritikus berpendapat bahwa Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mengalihkan perhatian dari peran fundamental ekonomi usaha; lain berpendapat bahwa itu tidak lebih dari dangkal window-dressing; yang lain berpendapat bahwa itu adalah upaya untuk lebih dulu peran pemerintah sebagai pengawas di atas kuat Tricorp perusahaan meskipun tidak ada bukti sistematis untuk mendukung kritik ini. Sejumlah besar penelitian telah menunjukkan tidak ada pengaruh negatif pada hasil pemegang saham dari CSR melainkan sedikit negetive


Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.

Etika merupakan cara berpikir mengenai perilaku manusia di bawah pangkal tolak  pandangan baik dan buruk atau benar dan salah dari norma-norma dan nilai-nilai, pertanggungjawaban dan pilihan. Dalam dunia bisnis etika memiliki peranan yang sangat penting ketika keuntungan bukan lagi menjadi satu-satunya tujuan organisasi. Bisnis juga akanmenjadi lebih sukses jika mempunyai perhatian pada etika, karena hal ini akan meningkatkan reputasi organisasi dan meningkatkan motivasi karyawan serta dapat mengurangi berbagaikerugian akibat perilaku yang kurang etis yang dilakukan oleh karyawan. Perilaku yang tidak etis seperti minum-minuman keras, penggunaan obat-obatan terlarang di tempat kerja, penyalah-gunaan email, tidak melaporkan pelanggaran karyawan lain kepada manajemen, serta berbagai pelanggaraan etika lainnya. Hal ini dapat menjadi sesuatu yang serius mengingat perilaku yang tidak etis dapat menjurus kearah tindakan kriminal serta perilaku lain yangmerugikan perusahaan, baik finansial maupun non-finansial. Banyak sebab yang menjadikan perilaku yang tidak etis yang ditunjukkan karyawan tersebut muncul. Hal ini terkait padaindividu karyawan saja, tetapi juga menyangkut keseluruhan proses dalam organisasi. Dalamhal ini manajemen sumber daya manusia mempunyai peran penting untuk menjamin bahwaorganisasi bertindak secara fair dan etis karyawan , klien, serta stakeholder lainnya. Manajemensumber daya manusia memainkan peran penting dalam membantu organisasi untuk meningkatkan nilai-nilai etika organisasi. Manajemen merupakan pendorong organisasi dalamusaha melatih karyawan agar mempunyai etika bisnis yang sesuai dengan organisasi, sehinggatindakan kurang etis dapat di cegah. Fungsi manajemen sumber daya manusia adalahmelindungi organisasi dari tindakan yang tidak etis dari karyawan. Manajemen sumber dayamanusia juga bertanggung jawab dalam usaha-usaha organisasi untuk menangani etika perilaku, dapat mampu menjadi penggerak dalam organisasi dalam menanggani isu-isu etika,serta bertanggung jawab dalam pengembangan dan pelatihan mengenai pentingnya peningkatanmoral karyawan.


SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
Sistem informasi manajemen (SIM) (bahasa Inggris: management information system, MIS) adalah bagian dari pengendalian internal suatu bisnis yang meliputi pemanfaatan manusia, dokumen, teknologi, dan prosedur oleh akuntansi manajemen untuk memecahkan masalah bisnis seperti biaya produk, layanan, atau suatu strategi bisnis. Sistem informasi manajemen dibedakan dengan sistem informasi biasa karena SIM digunakan untuk menganalisis sistem informasi lain yang diterapkan pada aktivitas operasional organisasi. Secara akademis, istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada kelompok metode manajemen informasi yang bertalian dengan otomasi atau dukungan terhadap pengambilan keputusan manusia, misalnya sistem pendukung keputusan, sistem pakar, dan sistem informasi eksekutif.

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_responsibility